PEMILU 2024
Pemilu Bebas Koruptor
Keputusan MK bagi mantan napi korupsi berupaya memblejeti kompleksitas politik manipulatif untuk memberi kemanfaatan terhadap pembangunan politik dan keadilan publik. Rakyat kian kehilangan kekuatan tawar.
Oleh:Amatus
20 Desember 2022
Amatus Ilustrasi
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan eks napi koruptor baru bisa mencalon kan diri sebagai anggota legislatif lima tahun setelah keluar dari penjara.
Putusan MK diambil dalam sidang Rabu (30/11/2022) dengan No 87/PUU-XX/ 2022 atas gugatan seorang warga Tambun Utara, Bekasi, Leonardo Siahaan, yang menguji Pasal 240 Ayat (1) huruf g pada UU No 7/2017 tentang Pemilu.
Keputusan ini tentu sebuah “gempa” bagi para napi koruptor yang sedang mengincar kontestasi elektoral di pemilu. Mereka ingin memanfaatkan “pragmatisme sosial” dengan mencuci dosa-dosanya lewat “bermain sabun” politik dengan parpol dan masyarakat nir-kritis.
Namun bagi kepentingan demokrasi elektoral, ini sebuah sinyal keras yang mentransmisi pesan pada jagat politik bahwa melahirkan pemerintahan yang steril dari korupsi adalah harga mati. Politisi tak boleh main- main dengan perkara rasuah.
Refleksi moral
Demokrasi pemilu adalah ruang determinisme etika dan fatsun politik yang harus dihindarkan dari benih-benih pragmatisme dan korup yang selama ini ikut melemahkan legitimasi kekuasaan dalam kerja-kerja populisnya. Beleid ini ibarat pagar moral-imperatif untuk membendung advonturisme para mantan napi korupsi yang hendak mengapitalisasi dan merekonsolidasi insting koruptifnya.
Apalagi mantan napi koruptor selama ini merupakan residu dari proses penegakan hukum koruptif, mulai dari hukuman pandang bulu karena mekanisme transaksional, negosiasi fasilitas penjara yang membuat besar kepala para napi korupsi hingga, diskon hukum atau jor-joran pembebasan bersyarat yang makin meninabobokan mereka dalam angin-angin sepoi permisivitas korupsi.
Misalnya, bebas bersyaratnya 23 napi korupsi September 2022 yang membuat publik berang karena penuh ketidakadilan. Sampai-sampai secara satire aktivis Indonesia Corruption Watch menyarankan para napi setelah bebas, segera berkunjung ke DPR untuk mengucapkan terima kasih karena institusi itu punya andil membebaskan mereka secara prematur.
Itu sebabnya pembatasan hak politik bagi mantan napi korupsi di pemilu adalah refleksi moral dari terkooptasinya institusi negara selama ini oleh kepentingan politisi korup. Misalnya, lembaga legislatif sejauh ini masih dianggap lembaga curang yang melahirkan banyak penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi.
KPK mencatat, ada 71 kasus tindak pidana korupsi sepanjang 1 Januari-1 Oktober 2021. Berda- sar profesi, mayoritas dari swasta, 27 kasus. Diikuti anggota DPR/DPRD 13 kasus, walikota/ bupati dan wakil 12 kasus, eselon I/II/III sembilan kasus, lainnya enam kasus; gubernur, polisi, pengacara, dan korporasi masing-masing satu kasus. Publik bisa melihat, betapa rentan institusi politik dikotori korupsi.
Institusi itu punya saham besar dalam memproduksi berbagai regulasi dan kebijakan yang menentukan masa depan rakyat dan bangsa. Jangan heran jika demonisasi elektoral dan institusi DPR terus terjadi belakangan ini (Cox & Rodden, 2021; Heerden, 2017).
Sebuah stigma yang dilekatkan pada proses politik pemilu yang sarat kongkalikong, vote buying (pembelian suara), hingga rent seeking (perburuan rente) yang mengapkir orientasi politi(k)si dalam memperjuangkan kedaulatan dan kesejahteraan rakyat, sehingga persepsi publik terhadap rezim pemilu kita selalu memperoleh catatan minor dari waktu ke waktu.
Institusi itu punya saham besar dalam memproduksi berbagai regulasi dan kebijakan yang menentukan masa depan rakyat dan bangsa.
Padahal persepsi demikian ini ikut menentukan bangunan partisipasi politik publik terhadap kontestasi politik dari level lokal sampai nasional. Bagusnya/meningkatnya partisipasi publik dalam pemilu berkorelasi dengan potensi penguatan demokrasi (Budiardjo, 1998).
Hasil survei Indikator Politik Indonesia (IPI) mengenai "Evaluasi Publik terhadap Kinerja Pemerintah dalam Bidang Ekonomi, Politik, Penegakan Hukum, dan Pemberantasan Korupsi" Juli lalu memang mengkonstantir optimisme rakyat terhadap demokrasi sebagai sistem pemerintahan terbaik.
Namun, penerapan demokrasi tetap stagnan, antara lain terlihat dari ruang protes dan kebebasan sipil yang belum dimaksimalkan. Terkorupsinya ruang kebebasan sipil antara lain karena masifnya praktik korup di kalangan penguasa yang secara geneologis selalu memiliki intensi merawat penyalahgunaan kekuasaan dan praktik korupsinya melalui berbagai fasilitas relasi politik destruktif yang dibangun.
Itu sebabnya, keadaan ini tidak bisa dipandang terpisah dari fenomena menganganya ruang-ruang perburuan rente.
Arena kalkulasi
Preseden menunjukkan ruang demokrasi bisa dengan mudah dijadikan arena kalkulasi dan proyeksi kekuasaan para politisi dengan memanfaatkan momentum desentralisasi berbasis konsentrasi pada akumulasi dan ekspansi modal (uang) politik, semata-mata demi membangun dan memelihara derivat kekuasaan maupun dinasti politik (Linz, et al, 2001).
Di ruang demokrasi inilah para politisi leluasa memainkan jurus politiknya untuk mengelabuhi rakyat sekaligus melakukan sublimasi korupsinya secara berlapis, dari jurus tukar tambah modal politik, membeli suara rakyat hingga memperalat atau mentransaksikan kebi- jakan publik demi kekuasaan diri/kelompok, antara lain sebagai upaya balik modal politik.
Ilustrasi
Dari siklus politik itu, rakyat kian terpojok sebagai korban dari kedaulatan yang dimanipulasi di altar politik pemilu. Rakyat kian kehilangan kekuatan tawar sebagai pemberi daulat untuk memastikan apirasinya diperjuangkan di tangan politikus yang tepat. Keputusan MK bagi mantan napi korupsi berupaya memblejeti kompleksitas politik manipulatif untuk memberi kemanfaatan terhadap pembangunan politik dan keadilan publik.
Asas kemanfaatan menegaskan, yang dilindungi dalam demokrasi adalah hak warga negara, bukan hak mantan napi koruptor, yang menyisakan pelemahan kepercayaan dan erosi imajinasi publik pada politik dan demokrasi (Sobary, 2018).
Semoga Pemilu 2024 jadi pemilu yang dinapasi pesta kegem -biraan rakyat dalam berdemokrasi. Gembira tak saja karena terbukanya kesempatan formal untuk memilih wakil atau pemimpin berkualitas, namun juga karena adanya sirkulasi kepemimpinan yang bebas dari rezim korupsi dan derivatnya.
Optimisme dan kepercayaan publik terhadap pemilu sangat ditentukan oleh seberapa besar rasionalitas dan keyakinan publik pada proses pemilu. Jika trustee (elemen yang dipercayai) seperti parpol, penyelenggara pemilu semakin kredibel dan bersih di pemilu, maka trustor (elemen yang memberi kepercayaan) yakni rakyat pun akan kian optimistis dan memercayai pemilu dan demokrasi.