“Kemiskinan adalah kematian yang terbesar”. (Imam Ali) -->

Advertisement

“Kemiskinan adalah kematian yang terbesar”. (Imam Ali)

Suara Baliem Papua
Selasa, 20 Desember 2022

Penulis: Benjoss*


Sistem ekonomi pasar bukan hanya mampu menghasilkan orang miskin. Sistem ini, pada kemyataannya berbuat jauh dari yang kita sangka. Sistem ekonomi yang dianut dan dijalankan ini telah meroketkan pendapatan sebagian kecil orang (minoritas). Sebagian kecil orang kini dengan mudah menumpuk kupal-kupalan uang sekaligus bergaya keiblis-iblisan. Disebut iblis mirip dengan pesulap yang dapat menarik uang dari bawah liang kubur disaat banyak orang kerja keras bagaimana memperoleh sesuap nasi.


Dulu semasa kekuasaan Orde Baru masih bertahta bicara tentang pemerataan hak milik dianggap sesuatu yang berbau komunis. Itu sebab tidak ada yang berbicara lantang mengutuk mereka yang memiliki usaha apa saja: punya usaha perampasan lahan dan hutan hingga importir mobil. Ketika penduduk sekitar berusaha untuk melancarkan gugatan maka balasan yang diterima selalu kejam dan berlebihan hingga penghilangan dengan kilat. Begitulah momok mengerikan orde fasis yang berakar rumput kuat sejarah bangsa ini, hingga saat inipun sisa-sisa dari metode kekerasan itu masih terasa.


Di Papua yang melakukan pemeberontakan itu dinamai separatis. Label yang membuat absah jika orang-orang itu diperangi, di penjara hingga dihukum. Diperangi karena mereka mengabcam stabilitas perusahaan yang kerapkali timpang tindih dengan stabilitas negara. Dipenjara karena orang-orang ini dikuatirkan mengganggu kenyamanan perusahaan bekerja. Lalu menjadi penting untuk menghukum mereka agar masyarakat umum dapat memetik pelajaran kalau tindakan seperti itu dapat membuahkan sanksi. Hingga yang bersolidaritas untuk bangsa merekapun kerapkali diintimidasi hingga direpresif. Begitulah nasib untuk mendapat keadilan di negeri ini kadangkala dan kerapkali membuahkan hukuman yang menyakitkan. Tak bisa disangka jika kemudian rakyat jadi percaya hukum dan ketertiban memang bukan milik mereka.


Marsinah membuktikan dalil itu, seorang buruh perempuan yang menginginkan kenaikan gaji tak lebih dari Rp 1000 kurang lebih bernominal 150 perak. Marsinah harus dibunuh dengan cara yang sadis. Mayatnya dibuang ditengah hutan dengan luka-luka yang melebihi gigitan binatang buat. Saya tak bisa menceritakan bagaimana ada manusia atau serdadu yang sanggup membunuh dengan jalan sadis melebihi kekejaman bintang pemangsa. Dan siapa yang membunuh Marsinah hingga detik inipun tak diketahui. Marsinah seperti diambil nyawanya oleh iblis yang tak bisa ditangkap oleh hukum dan tak bisa diterka oleh panca indra aparat penegak hukum.


Masih teramat banyak Marsnah tidak sendirian karena ada anak-anak muda bernama para mahasiswa hilang tanpa ada kabar. Sekelompok serdadu yang diadili selalu bilang kalau penculikan itu bukan mereka yang melakukan dan kaum serdadu itu tak tahu dimana sisa aktivis yang sampai hari ini hilang. Tanggung jawab yang harus dan sangat mewah dinegeri ini. Peradilan untuk pelanggaran Hak Asasi Manusia tidak kerapkali diabaikan mesti ada yang dapat diproses maka otak dari pelaku kejahatan selalu saja lolos dari penegakan keadilan. Sejumlah jendral dinyatakan bebas dan prajurit lapangan meringkuk dalam tahanan. Suatu proses hukum yang tidak dapat diselesaikan dan dikelabui oleh para kenibal kemanusiaan.


Hukum memang peluang satu-satunya yang bisa dijadikan tumpuan orang miskin. Tapi tak selamanya mejelis hakim punya sikap tegas dan adil kadangkala kepentingan berbenturan dengan hati nurani.Tragis bagaimana hukum tak selalu berpihak pada kepedulian orang miskin. Gugatan atas beberapa kasus penggusuran yang dimenangkan oleh pengusaha menggariskan situasi tragis tentang nasib orang miskin. Terlunta dinegeri sendiri membuat sebagain diantara mereka memilih untuk bekerja di negeri asing. Lalu kita bertanya apa yang sebenarnya ada dibalik tempurung kepala para pengmbil kebijakan?? mengintip beberapa kekayaan petinggi negeri ini mungkin kita hanya bisa tersenyum masam.


Benar sekali setiap pulau di negeri ini menyimpan kekayaan alam yang raksasa, tapi selalu membawa ancaman bencana ketimpangan. Kekayaan itu diolah dengan melibatkan beberapa perusahaan asing dan tentu sebagian pejabat pribumi. Yang terkahir inilah kiranya mendapatk laba besar karena dapat bagian yang tidak sedikit. Beberapa jutawan yang ada disini memulai kekayaannya dari posisi sebagai pejabat. Dan sebagai pejabat mereka mengambil fungsi yang serupa dengan kuasa Tuhan, membagi rezeki dalam bentuk perijinan. Bagi-bagi surat inilah yang menjadi bagian penting untuk mengakumulasi laba.


Keluarga Cendana lihatlah seperti meteor yang menyimpan kebesaran dan kesaktian panjang selama puluhan tahun. Berdampingan dengan keluarga cendana ada beberapa keluarga yang kini mulai unjuk harta kekayaan memerkan perusahaan-perusahaan disetiap wilayah nasional. Pundi-pundi mereka seolah-olah tak habis dimakan oleh ratusan turunan. Kekayaan itu sekarang berdampingan dengan jabatan publik yang akan memperlebar pengaruh. Pengaruh menjadi salah satu sumber pendulang pendapatan. Karena kekuasaan maka segala izin yang berkaitan dengan pembangunan meluncur dari tangan penguasa. Tangan yang memliki keajaiban, sebagaimana yang dituturkan dalam sejarah bangsa ini.


“Tidak ada sesuatu pun di alam yang terjadi kecuali dengan lompatan-lompatan. Tidak ada sesuatu pun yang manusiawi yang terjadi kecuali dengan lompatan-lompatan.” (Romein)


Kapitalisme berada dalam krisis terdalam dalam sejarahnya. Ini adalah krisis ekonomi, sosial dan politik, yang sekarang mengekspresikan dirinya dalam kekacauan politik dan perjuangan kelas yang berkembang di seluruh dunia. Mari kita ambil contoh lain yang lebih

mencolok: globalisasi. Dominasi yang menghancurkan pasar dunia adalah perwujudan terpenting dari zaman kita, dan ini dianggap sebagai penemuan baru. Faktanya, globalisasi telah diprediksi dan dijelaskan oleh Marx dan Engels lebih dari 151 tahun yang lalu.


Dalam Pembukaan dokumen yang luar biasa ini kita membaca yang berikut ini: Borjuasi melalui eksploitasi pasar dunia telah memberikan karakter kosmopolitan pada produksi dan konsumsi di setiap negara. Yang sangat disesalkan oleh kaum Reaksionis, ia telah mengambil dari bawah kaki industri landasan nasional tempat ia berdiri. Semua industri nasional yang mapan telah dihancurkan atau setiap hari dihancurkan. Mereka tergeser oleh industri baru, yang pengenalannya menjadi pertanyaan hidup dan mati bagi semua negara beradab, oleh industri yang tidak lagi mengolah bahan mentah

pribumi, tetapi bahan mentah yang diambil dari daerah terpencil; industri yang produknya dikonsumsi, tidak hanya di rumah, tetapi di setiap kuartal di dunia. Sebagai ganti keinginan lama, yang dipenuhi oleh produksi negara, kita menemukan keinginan baru, yang membutuhkan produk dari tanah dan iklim yang jauh untuk kepuasan mereka. Sebagai ganti dari pengasingan dan kemandirian lokal dan nasional yang lama, kita memiliki hubungan ke segala arah, antar-negara yang saling bergantung secara universal. Dan seperti dalam materi, begitu juga dalam produksi intelektual. Karya intelektual masing-masing negara menjadi milik bersama. Kepihak nasional dan kesempitan pikiran menjadi semakin tidak mungkin, dan dari banyak sastra nasional dan lokal, muncullah sastra dunia. “Di sana muncul sastra dunia”.



Berbalik berbicara konsep negara, negara ‘rentenir’ itulah yang kemudian memutuskan siapa dan begaimana orang miskin di kelola. Jika berada mereka dianggap ilegal mata putusannya singkat: usir dan gusur. Ada petugaa yang punya kecakapan melakukan tindakan ini. Mereka dibayar memang untuk berurusan dengan perkara kotor ini. Menggusur pemukiman kumuh, mengusir yang bertempat tanah pemerintah dan menangkap bagi yang melawan. Ada pasal yang disiapkan untuk menjerit tindakan itu. Protes dan pasalnya. Menolak ada hukumnya. Jika begitu aksi spontan perlawanan jadi barang langka. Mereka tahu untuk semuanya kini beresiko. Andai ada aksi besar sekalipun itupun tak bertahan lama. Mudah dipatahkan. Gampang diajak untuk bernegosiasi.


Kita telah menyaksikan bagaimana krisis ekonomi yang diciptakan sistem kapitalisme telah memukul masa depan kaum muda dengan sangat keras. Kesengsaraan telah menjadi kenyataan sehari hari dan telah menjadi ancaman bagi seluruh masa depan umat manusia. Hingga hari ini, fakta bahawasnya kaum muda di berbagai negara merasakan bahwa hidup mereka berputar-putar pada kekacauan dan ketidakstabilan. Ada yang mengenai sentimen anti-kapitalisme yang berkembang di antara kaum muda bila kita sebutkan satu per satu. Keresahan ini bukanlah sebuah kebetulan. Ini berakar dari sistem kapitalisme yang menuju jalan buntunya.



Pada kenyataannya, satu-satunya hal yang mempertahankan sistem yang busuk yang memiskinkan sekaligus mematikan ini adalah kelemahan teoritis revolusioner massa, tetapi ini hanya untuk sementara saja. Saya meyakini. Mustahil, untuk tidak dapat menggulingkan sistem kapitalisme menuju sosialisme ini tidak secara permanen. Untuk sementara, represi masif telah berhasil meredam gerakan protes kaum muda dan kelas pekerja. Tetapi tidak ada satupun akar permasalahan yang telah diselesaikan dari semua tuntutan dari sebuah ketimpangan. Tentu ini sebuah harapan untuk mempersiapkan dan menjemput sebuah sistem baru (sosialisme).


Sekarang, kaum muda Indonesia tidak harus menilik bertahun-tahun untuk sampai kepada Marxisme seperti halnya di Rusia. Kaum muda harus bersatu dengan kelas tertindas (proletariat). Kita harus mengakhiri aktivisme ini bila kita ingin menang. Sudah saatnya kita membangun persatuan untuk menggulingkan sistem kapitalisme yang mencekik dan merenggut segala hak atas hajat hidup manusia. Teriakan dengan lantang bahwa kami berdiri untuk Marxisme Revolusioner, berdiri di bawah kaum yang selama ini telah ditersakiti, dianiaya, diperkosa, dirampas, dan hingga dibunuh secara brutalitas. Perjuangan untuk menggulingkan kaum borjuis yang menghisap kelas buruh hingga membodoh-bodohi kaum miskin sudah saatnya untuk dihencurkan dan mewujudkan dunia baru (sosialisme).


“Keadaan sosial menetukan kesadaran sosial”. (Karl Marx)